Postingan Populer

Jumat, 22 November 2013

MUKADIMAH BERDIRINYA HSI (Himpunan Santri Indonesia)

Assalamu alaikum Warohmatullahi Wabarokatu, Alhamdulilah.. Allahuma Sholi Ala Muhammad Wa Ala Ali Muhammad.................




Selamat Datang di Blog HSI (Himpunan Santri Indonesia)

Para pembaca yang budiman semoga dalam Rohmat Allah SWT dan termasuk Umat Rosulullah Solullahi Alaihi Wasalam Nabiyullah Muhammad.
sebelum saya menjelaskan lebih jauh mengenai HSI, pertama saya ingin
inamal bu ista ma karimal akhlaq

secara pribadi saya merasa prihatin dengan kondisi bangsa saat ini, diseluruh level masyarakat seolah telah hilang keislamanya dan telah sangat jauh dari ajaran-ajaran islam yang sejatinya menjadi
landasan hidup. saat ini para pejabat negaranya  (Amir) Korupsi serta dan Amanah, Penegak hukum mudah di suap, generasi mudanya pecandu narkotika, para orang tua lebih bercita-cita anaknya pandai menari atau menyanyi supaya terkenal dan masuk televisi, pesantren perlahan ditinggalkan dan dianggap kuno, ilmu tauhid disepelekan sementara ilmu keduniaan terlalu diagung-agungkan, sungguh hedonisme (Pemuasan Nafsu) telah menjangkit hati umat muslim di indonesia saat ini belum lagi acara-acara TV yang tidak mendidik malah membawa kesyirikan bahkan tak sedikit acara yang malah melalaikan, sungguh ini haruslah segera diperbaiki.
          Atas alasan diatas ini lah HSI (Himpunan Santri Indonesia) lahir, bisa jadi HSI ini mungkin bukan yang pertama kalinya lahir, bisa jadi ada orang yang lebih dahulu merintisnya dengan ide dan tujuan yang sama, namun mungkin karena kurang begitu tersosialisasikan sehingga kehadiran HSI tidak begitu dirasakan. maka dari itu saya bertekad membentuk HSI yang lebih terkoordinir, yang lebih profesional, konsisten dan memiliki tujuan yang jelas.
        HSI hadir bukan cuma ajang kumpul-kumpul para santri, bukan juga hanya organisasi pelengkap saja, namun lebih dari itu saya berharap HSI mampu menjadi cahaya pelita ditengah kegelapan, HSI mampu memberikan kontribusi terhadap pesantren-pesantren, HSI mampu membentuk santri yang memiliki kualitas, santri yang bisa mampu bersaing di segala bidang (knowledge, economi, politic, bussines), memiliki power disetiap lapisan masyarakat. 
       Para pembaca yang budiman, betapa kita merindukan tokoh-tokoh seperti KH.Hasyim Asy'ari, yang memberikan kontribusi besar terhadap bangsa ini, kita juga merindukan tokoh santri seperti KH.Ahmad Dahlan yang mempelopori lembaga pendidikan pertama di indonesia dan masih banyak tokoh-tokoh yang lainnya yang telah mengorbankan harta dan nyawanya untuk bangsa ini, tapi sekarang santri ko dianggap tak penting, dianggap kuno dan tidak pernah santri disangkut pautkan oleh pemerintah atas jasa-jasa nya.
       saya hanya salah satu orang dari ribuan santri yang bersimpati terhadap penomena pesantren dan santri saat ini, saya akan korbankan waktu serta materi saya untuk mewujudkan santri-santri yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang amanah dan saya tidak bisa mewujudkannya sendiri, saya membutuhkan partner, sahabat yang memiliki cita-cita luhur untuk bersama-sama berjuang di HSI.
      Mari kita berbuat sesuatu yang lebih terhormat, mari kita bersama-sama membenahi kembali generasi bangsa dari kebobrokan akhlaq, mari kita cetak pemimpin-pemimpin amanah, mari kita bangun stasiun televisi yang isinya mampu mencerdaskan bangsa, saudaraku mari kita berjuang bersama.
      pembaca yang budiman saya kita tidak akan habis jika saya menceritakan harapan saya HSI kedapan, kiranya ini dapat mewakili maksud dan tujuan saya bersama HSI. sekian mukadimah dari saya, mohon maaf apabila ada ke khilafan, semoga kita semua ada dalam Rahmat Allah SWT.


Wassalam

Muhammad Ibnu Saefullah

Selasa, 19 November 2013

HINDARI MISUNDERSTANDING DUNIA PESANTREN (UPAYA REKONSTRUKSI KESEIMBANGAN LULUSAN PESANTREN)

Oleh : Azam Syukur Rahmatullah, S.H. M.Si
Ustadz Pondok Pesantren Al-Kamal, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah

Sebab bagaimanapun, pesantren telah menjadi pelopor pendidikan di bumi nusantara ini. Dengan bahasa lain pesantren inilah yang menjadi cikal-bakal legal-formal dari dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga, wajar saja bila nama pesantren sudah cukup familiar di telinga siapapun dan di kalangan manapun.Mendengar nama pesantren dalam dunia akademis kiranya sudah tidak asing lagi keberadaannya.
Besarnya dunia pesantren tentunya diiringi pula dengan besarnya cobaan-cobaan yang menerpa. Baik kecil maupun besar, yang salah satu bentuk cobaan tersebut adalah “ketimpangan asumsi atau perspektif’. Hal yang paling mencolok dari “ketimpangan asumsi atau perspektif masyarakat” ini adalah mereka yang menyatakan bahwa “dunia pesantren adalah dunianya kaum teroris” atau pula dunia pesantren adalah dunia yang dikhususkan untuk anak-anak nakal, bandel dan beremosi negatif taraf tinggi, serta masih banyak lagi asumsi-asumsi non sense lainnya. Sedangkan, asumsi itu muncul, mungkin saja dikarenakan ketidaktahuan (unknown) mereka atas dunia pesantren yang sesungguhnya.
Dari berbagai misunderstanding atas dunia pesantren ini, ada satu hal yang menarik bagi penulis, yang kiranya bukan merupakan suatu aib jika dibahas, yakni perihal kesalahpahaman para wali santri pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya yang menyatakan bahwa dunia pesantren adalah dunianya Gatot Kaca, dunia pesantren adalah Kawah Candra Dimuka. Jadi, sudah pasti mereka yang keluar dari pesantren akan jadi orang besar, mereka pasti akan jadi kiyai, atau mereka pasti akan disegani masyarakat dan pula mereka pasti akan menjadi pembesar-pembesar masyarakat.
Demikianlah asumsi yang seringkali penulis dengar dari bibir-bibir para wali santri maupun masyarakat kebanyakan. Makanya tidak heran ketika adanya santri yang melenceng dari kaidah-kaidah kepesantrenan (al-qawa’idu al ma’ahid) maupun kaidah­-kaidah normativisme (al-qawa’idu al-islamiyah), mereka-yang berasmnsi keliru akan berujar begini : “Mana tanggung jawab pesantren? Sehingga banyak santri yang gagal menjadi orang, banyak santri yang tidak disegani ummat, banyak santri yang tanpa gelar kiyai, dan banyak santri yang menjadi penjudi dan sampah naasyarakat. Di mana peran pesantren yang sesungguhnya dalam membentuk dan menjadikan para lulusan santri yang berkualitas? Sehingga masih banyak santri yang bukan santri”. Begitulah, kira-kira bentuk protes yang seakan-akan menyalahkan pihak pesantren–dari mereka yang begitu besar menaruh harapan atas dunia pesantren.
Berpijak dari uraian di atas itulah perlu penulis tekankan di sini bahwa dunia pesantren bukanlah dunia yang penuh kepastian. Bahwa setelah keluar dari pesantren pasti akan menjadi kiyai atau ustad, yang semuanya terkesan serba menggiurkan (fantasticly). Dunia pesantren juga bukan dunia yang pengobral janji (al-kholiyu al­kalam), yang akan memberikan janji-janjinya kepada para santrinya bahwa jika masuk pesantren maka dijamin akan sukses, dijamin akan jadi kiyai, ustadz, ajengan atau apalah bentuknya. Sekali lagi penulis tegaskan tidak?
Dalam hal ini, pesantren hanyalah perantara (al-wasilah), pesantren hanyalah petunjuk jalan, dan pesantren hanyalah lahan “pengarahan”, yang sukses atau tidaknya santri tetap kembali kepada santri itu sendiri. Berhasil atau tidaknya santri ditentukan oleh seberapa besar pengaruh ajaran-ajaran kepesantrenan yang diresapinya, jika seorang santri memang belajar dengan sesungguhnya, tanpa adanya paksaan dan keterpaksaan, serta senantiasa mengedepankan nilai-nilai masa depan, maka niscaya santri tersebut akan cenderung ber-value positif-aktif-progresif. Dan besar kemungkinannya, akan mendapatkan gelar “santri yang mumtaz”, baik mumtaz dalam ranah kognitif, maupun mumtaz dalam ranah aplikatif, afektif dan psikomotorik. Dan tentu saja santri yang demikian diharapkan akan mudah mendapatkan kepercayaan ummat.
Namun berbeda, di kala pesantren sudah berupaya sekuat mungkin menunjukan jalan-jalan kebaikan dan kesuksesan di masa mendatang, di kala pesantren sudah berupaya membimbing santri ke jalan kebaikan (al-birr), dan di kala pesantren sudah berusaha mengarahkan santri ke jalan kemuliaan diri (karimatu an-nafs), namun, sebaliknya yang terjadi justru santri itu sendiri yang “ogah-ogahan”, dan cenderung stagnan-pasif dan tidak mau berkembang (sulit diajak maju), bahkan tidak sedikit yang cenderung menantang aturan ma’had, dan sebagainya. Hal demikian tentu saja akan sangat merugikan pihak santri itu sendiri. Kenakalan, kemalasan, dan kebandelan mereka justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan diri semasa di pondok maupun sesudahnya. Padahal pihak pesantren tidak letih-letihnya berupaya mengajak mereka kembali ke ranah al-birr.
Jika sudah demikian, jangan heran jika muncul istilah “santri murtad”, alias “santri tapi bukan santri” atau “santri mbalelo“, yang efeknya bagi si santri semakin jauh dari kepercayaan ummat, semakin jauh dari posisi orang besar dan akan semakin jauh pula dari ” gelar kehormatan dunia-akhirat.
Karenanya, tidak bijak jika masyarakat pada umumnya dan wali santri pada khususnya menggantungkan 100% kepastian akan keberhasilan anaknya pada pesantren, dan tidak bijak pula jika menyalahkan pesantren di kala apa yang diharapkan (expectation) berupa kepastian keberhasilan seorang anak tidak sesuai dengan kenyataan (actual). Sebab bagaimanapun juga keberhasilan santri ada pada santri itu sendiri, pesantren hanya sebagai jembatan saja.
Oleh karena itu, yang terbaik untuk memunculkan para lulusan santri mumpuni maka kedua pihak antara pesantren-santri harus aktif-konstruktif tidak pasif-destruktif dan saling menyadari pentingnya nilai-nilai (values) kepesantrenan dan berbagai ajarannya.

Ref :
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/

PESANTREN HARUS PERCAYA DIRI



Oleh : KH. Mahfudz Ridwan, Lc
(Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Edi Mancoro, Salatiga, Jawa Tengah)
Pesantren adalah sebuah wacana yang hidup, selagi mau memperbincangkannya-pesantren senaniasa menarik, segar dan aktual. Akan tetapi perlu dicatat, bahwa menyimak pesantren adalah laksana masuk ke hutan belantara. Sebab, pesantren mempunyai wajah yang multi dimensi dan kaya akan khazanah-khazanah yang sulit untuk dituangkan dalam teks yang bisa dibaca oleh setiap orang-orang. Sampai-sampai ada suatu guyonan bahwa agen intelejen sekelas CIA yang memiliki reputasi internasional serta mempunyai sistem kerja yang canggih sekalipun acapkali sulit menyandang informasi yang ada di pesantren gara-gara setiap kali rapat tidak ada nominasinya. Walaupun penuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang menaik adalah pesantren senantiasa percaya diri dalam menghadapi tantangan di luar dirinya.
Pesantren memang unik dan ekslusif. Dalam banyak perspektif, pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun, tidak dapat dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Pola kepemimpinan yang masih tetap mengandalkan kharisma kiyai serta keikhlasan dalam pengajaran justru diyakini oleh sebagian masyarakat kita sebagai sebuah metode yang paling efektif dalam menimba ilmu. Inilah yang kemudian oleh sebagian masyarakat kita dinamai sebagai “barokah” menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren dapat dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Namun berbicara mengenai pesantren, kita tidak boleh terjebak dalam romantisme sejarah egois yang menggiurkan. Kita harus tetap melakukan kritik dan autokritik terhadap pesantren itu. Sebagai sebuah entitas masyarakat yang strategis, pesantren justru gagal dalam mengemban misi perubahan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Pesantren hadir seolah-olah sebagai sebuah bangunan tua yang berdiri “diam” dengan aroma kewibawaannya. Jarang kita temukan pesantren yang menjadi tempat transaksi gagasan dan segala persoalan yang bisa dikunjungi oleh masyarakat untuk saling bertukar pikiran baik antar masyarakat dan santri, maupun masyarakat dengan kiyai. Satu-satunya yang kita temukan bahwa pesantren hari ini hanya ibarat tempat hilir mudiknya santri untuk mengaji kitab kuning dengan rutinitas melakukan dialog bersama masyarakat dalam pemecahan problem-problem sosial yang menghimpit mereka. Kenapa bisa demikian?
Pesantren Harus Melakukan Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu yang harus dilakukan pesantren untuk menjawab persoalan-pesoalan yang menghimpit masyarakat, bahwa pesantren harus tampil percaya diri (PD) dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Walaupun ketika berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat kita sangat sulit untuk memulai. Namun untuk melakukan itu semua sebagai upaya penguatan civil society di Indonesia paling tidak ada beberapa prasyarat yang harus dibutuhkan. Di antaranya seperti yang pernah digagas pesantren Edi Mancoro; pertama, melakukan liberalisasi pandangan terhadap Islam sebagai upaya mendukung pluralisme, konstruksi teologi dan gerakan yang mampu memfasilitasi terwujudnya gagasan sosial yang berwatak ideologi emansipatorik. Hal ini mengingat bahwa potensi kekuatan Islam kultural yang bergerak di luar negara sangatlah kuat.
Kiat ulama pesantren yang menjadi entitas utama di wilayah Islam kultural sejak dekade terakhir ini sudah menumbuhkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan membuka pikiran dari luar. Tinggal yang belum dilakukan adalah mendorong ke arah yang lebih praktis dalam pemberdayaan masyarakat seperti buruh, nelayan, petani, kaum miskin kota, anak jalanan dan lain sebagainya. Sehingga ekselerasi yang seimbang ini akan memunculkan kekuatan yang luar biasa dalam melakukan perubahan di masyarakat. Namun, akankah pesantren mampu memikul amanah itu?
Hanya kita (kalangan pesantren) yang bisa menjawab..!!
Ref:
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/

KH. Zainal Mustofa & Perlawanan Santri Sukamanah Tasikmalaya Pengemban Amanah

“BIARLAH. Bebankan hal-hal yang berat dalam pemeriksaan tentara Jepang kepadaku. Jika terpaksa, boleh disebut nama kawanmu yang benar-benar sudah syahid (gugur dalam pertempuran).” (Kiai Haji Zainal Mustafa) 
Benar saja. Dalam sebuah pemeriksaan yang ketat, untuk meringankan penderitaan orang lain dan atas kemauannya sendiri, segala tuduhan berat harus dipikul. Padahal proses pemeriksaan itu berjalan selama tiga bulan disertai dengan penyiksaan dan hinaan keji. Itulah salah satu ucapan, dan bentuk pengalaman – pengorbanan – berat yang pernah dilakoni Kiai Haji Zainal Mustafa, Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.
******************
Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang.
Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).
Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.
Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba.
Terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.
Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat.
Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.
Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat.
****************
DENGAN membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.
Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan. Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum semuanya terlambat….

Ref :
  1. Nina Herlina Lubis (Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad), Koran Pikiran Rakyat, Februari 2008.
  2. http://yayasansaifuddinzuhri.blogspot.com/2009/06/kh-zainal-mustafa-1907-1944.html
  3. http://wikimapia.org/10283282/id/Taman-Makam-Pahlawan-Nasional-KH-Zaenal-Musthafa-Sukamanah
  4. Ensiklopedi Sunda, 2000



Senin, 18 November 2013

KH. Mohammad Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul Ulama)

KH Mohammad Hasyim Asy'ari,  atau biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Biografi KH Hasyim Asy'ari

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Referensi :

- http://fimadani.com/kh-hasyim-asyari-sang-penjaga-islam-tradisional/
- http://masphi.blogspot.com/ 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review