Oleh : Azam Syukur Rahmatullah, S.H. M.Si
Ustadz Pondok Pesantren Al-Kamal, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
Sebab bagaimanapun, pesantren telah menjadi pelopor
pendidikan di bumi nusantara ini. Dengan bahasa lain pesantren inilah
yang menjadi cikal-bakal legal-formal dari dunia pendidikan di
Indonesia. Sehingga, wajar saja bila nama pesantren sudah cukup familiar
di telinga siapapun dan di kalangan manapun.Mendengar
nama pesantren dalam dunia akademis kiranya sudah tidak asing lagi
keberadaannya.
Besarnya
dunia pesantren tentunya diiringi pula dengan besarnya cobaan-cobaan
yang menerpa. Baik kecil maupun besar, yang salah satu bentuk cobaan
tersebut adalah “ketimpangan asumsi atau perspektif’. Hal yang paling
mencolok dari “ketimpangan asumsi atau perspektif masyarakat” ini adalah
mereka yang menyatakan bahwa “dunia pesantren adalah dunianya kaum
teroris” atau pula dunia pesantren adalah dunia yang dikhususkan untuk
anak-anak nakal, bandel dan beremosi negatif taraf tinggi, serta masih banyak lagi asumsi-asumsi non sense lainnya. Sedangkan, asumsi itu muncul, mungkin saja dikarenakan ketidaktahuan (unknown) mereka atas dunia pesantren yang sesungguhnya.
Dari berbagai misunderstanding
atas dunia pesantren ini, ada satu hal yang menarik bagi penulis, yang
kiranya bukan merupakan suatu aib jika dibahas, yakni perihal
kesalahpahaman para wali santri pada khususnya, dan masyarakat pada
umumnya yang menyatakan bahwa dunia pesantren adalah dunianya Gatot Kaca, dunia pesantren adalah Kawah Candra Dimuka. Jadi,
sudah pasti mereka yang keluar dari pesantren akan jadi orang besar,
mereka pasti akan jadi kiyai, atau mereka pasti akan disegani masyarakat
dan pula mereka pasti akan menjadi pembesar-pembesar masyarakat.
Demikianlah
asumsi yang seringkali penulis dengar dari bibir-bibir para wali santri
maupun masyarakat kebanyakan. Makanya tidak heran ketika adanya santri
yang melenceng dari kaidah-kaidah kepesantrenan (al-qawa’idu al ma’ahid) maupun kaidah-kaidah normativisme (al-qawa’idu al-islamiyah), mereka-yang berasmnsi keliru akan berujar begini : “Mana
tanggung jawab pesantren? Sehingga banyak santri yang gagal menjadi
orang, banyak santri yang tidak disegani ummat, banyak santri yang tanpa
gelar kiyai, dan banyak santri yang menjadi penjudi dan sampah
naasyarakat. Di mana peran pesantren yang sesungguhnya dalam membentuk
dan menjadikan para lulusan santri yang berkualitas? Sehingga masih
banyak santri yang bukan santri”. Begitulah,
kira-kira bentuk protes yang seakan-akan menyalahkan pihak
pesantren–dari mereka yang begitu besar menaruh harapan atas dunia
pesantren.
Berpijak
dari uraian di atas itulah perlu penulis tekankan di sini bahwa dunia
pesantren bukanlah dunia yang penuh kepastian. Bahwa setelah keluar dari
pesantren pasti akan menjadi kiyai atau ustad, yang semuanya terkesan
serba menggiurkan (fantasticly). Dunia pesantren juga bukan dunia yang pengobral janji (al-kholiyu alkalam), yang
akan memberikan janji-janjinya kepada para santrinya bahwa jika masuk
pesantren maka dijamin akan sukses, dijamin akan jadi kiyai, ustadz, ajengan atau apalah bentuknya. Sekali lagi penulis tegaskan tidak?
Dalam
hal ini, pesantren hanyalah perantara (al-wasilah), pesantren hanyalah
petunjuk jalan, dan pesantren hanyalah lahan “pengarahan”, yang sukses
atau tidaknya santri tetap kembali kepada santri itu sendiri. Berhasil
atau tidaknya santri ditentukan oleh seberapa besar pengaruh
ajaran-ajaran kepesantrenan yang diresapinya, jika seorang santri memang
belajar dengan sesungguhnya, tanpa adanya paksaan dan keterpaksaan,
serta senantiasa mengedepankan nilai-nilai masa depan, maka niscaya
santri tersebut akan cenderung ber-value positif-aktif-progresif. Dan besar kemungkinannya, akan mendapatkan gelar “santri yang mumtaz”, baik mumtaz dalam ranah kognitif, maupun mumtaz dalam ranah aplikatif, afektif dan psikomotorik. Dan tentu saja santri yang demikian diharapkan akan mudah mendapatkan kepercayaan ummat.
Namun
berbeda, di kala pesantren sudah berupaya sekuat mungkin menunjukan
jalan-jalan kebaikan dan kesuksesan di masa mendatang, di kala pesantren
sudah berupaya membimbing santri ke jalan kebaikan (al-birr), dan di kala pesantren sudah berusaha mengarahkan santri ke jalan kemuliaan diri (karimatu an-nafs), namun, sebaliknya yang terjadi justru santri itu sendiri yang “ogah-ogahan”, dan cenderung stagnan-pasif dan
tidak mau berkembang (sulit diajak maju), bahkan tidak sedikit yang
cenderung menantang aturan ma’had, dan sebagainya. Hal demikian tentu
saja akan sangat merugikan pihak santri itu sendiri. Kenakalan,
kemalasan, dan kebandelan mereka justru akan menjadi bumerang bagi
kehidupan diri semasa di pondok maupun sesudahnya. Padahal pihak
pesantren tidak letih-letihnya berupaya mengajak mereka kembali ke ranah al-birr.
Jika sudah demikian, jangan heran jika muncul istilah “santri murtad”, alias “santri tapi bukan santri” atau “santri mbalelo“,
yang efeknya bagi si santri semakin jauh dari kepercayaan ummat,
semakin jauh dari posisi orang besar dan akan semakin jauh pula dari ”
gelar kehormatan dunia-akhirat.
Karenanya,
tidak bijak jika masyarakat pada umumnya dan wali santri pada khususnya
menggantungkan 100% kepastian akan keberhasilan anaknya pada pesantren,
dan tidak bijak pula jika menyalahkan pesantren di kala apa yang
diharapkan (expectation) berupa kepastian keberhasilan seorang anak tidak sesuai dengan kenyataan (actual). Sebab bagaimanapun juga keberhasilan santri ada pada santri itu sendiri, pesantren hanya sebagai jembatan saja.
Oleh karena itu, yang terbaik untuk memunculkan para lulusan santri mumpuni maka kedua pihak antara pesantren-santri harus aktif-konstruktif tidak pasif-destruktif dan saling menyadari pentingnya nilai-nilai (values) kepesantrenan dan berbagai ajarannya.
Ref :
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar