Postingan Populer

Selasa, 19 November 2013

PESANTREN HARUS PERCAYA DIRI



Oleh : KH. Mahfudz Ridwan, Lc
(Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Edi Mancoro, Salatiga, Jawa Tengah)
Pesantren adalah sebuah wacana yang hidup, selagi mau memperbincangkannya-pesantren senaniasa menarik, segar dan aktual. Akan tetapi perlu dicatat, bahwa menyimak pesantren adalah laksana masuk ke hutan belantara. Sebab, pesantren mempunyai wajah yang multi dimensi dan kaya akan khazanah-khazanah yang sulit untuk dituangkan dalam teks yang bisa dibaca oleh setiap orang-orang. Sampai-sampai ada suatu guyonan bahwa agen intelejen sekelas CIA yang memiliki reputasi internasional serta mempunyai sistem kerja yang canggih sekalipun acapkali sulit menyandang informasi yang ada di pesantren gara-gara setiap kali rapat tidak ada nominasinya. Walaupun penuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang menaik adalah pesantren senantiasa percaya diri dalam menghadapi tantangan di luar dirinya.
Pesantren memang unik dan ekslusif. Dalam banyak perspektif, pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun, tidak dapat dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Pola kepemimpinan yang masih tetap mengandalkan kharisma kiyai serta keikhlasan dalam pengajaran justru diyakini oleh sebagian masyarakat kita sebagai sebuah metode yang paling efektif dalam menimba ilmu. Inilah yang kemudian oleh sebagian masyarakat kita dinamai sebagai “barokah” menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren dapat dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Namun berbicara mengenai pesantren, kita tidak boleh terjebak dalam romantisme sejarah egois yang menggiurkan. Kita harus tetap melakukan kritik dan autokritik terhadap pesantren itu. Sebagai sebuah entitas masyarakat yang strategis, pesantren justru gagal dalam mengemban misi perubahan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Pesantren hadir seolah-olah sebagai sebuah bangunan tua yang berdiri “diam” dengan aroma kewibawaannya. Jarang kita temukan pesantren yang menjadi tempat transaksi gagasan dan segala persoalan yang bisa dikunjungi oleh masyarakat untuk saling bertukar pikiran baik antar masyarakat dan santri, maupun masyarakat dengan kiyai. Satu-satunya yang kita temukan bahwa pesantren hari ini hanya ibarat tempat hilir mudiknya santri untuk mengaji kitab kuning dengan rutinitas melakukan dialog bersama masyarakat dalam pemecahan problem-problem sosial yang menghimpit mereka. Kenapa bisa demikian?
Pesantren Harus Melakukan Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu yang harus dilakukan pesantren untuk menjawab persoalan-pesoalan yang menghimpit masyarakat, bahwa pesantren harus tampil percaya diri (PD) dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Walaupun ketika berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat kita sangat sulit untuk memulai. Namun untuk melakukan itu semua sebagai upaya penguatan civil society di Indonesia paling tidak ada beberapa prasyarat yang harus dibutuhkan. Di antaranya seperti yang pernah digagas pesantren Edi Mancoro; pertama, melakukan liberalisasi pandangan terhadap Islam sebagai upaya mendukung pluralisme, konstruksi teologi dan gerakan yang mampu memfasilitasi terwujudnya gagasan sosial yang berwatak ideologi emansipatorik. Hal ini mengingat bahwa potensi kekuatan Islam kultural yang bergerak di luar negara sangatlah kuat.
Kiat ulama pesantren yang menjadi entitas utama di wilayah Islam kultural sejak dekade terakhir ini sudah menumbuhkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan membuka pikiran dari luar. Tinggal yang belum dilakukan adalah mendorong ke arah yang lebih praktis dalam pemberdayaan masyarakat seperti buruh, nelayan, petani, kaum miskin kota, anak jalanan dan lain sebagainya. Sehingga ekselerasi yang seimbang ini akan memunculkan kekuatan yang luar biasa dalam melakukan perubahan di masyarakat. Namun, akankah pesantren mampu memikul amanah itu?
Hanya kita (kalangan pesantren) yang bisa menjawab..!!
Ref:
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review