Oleh
: KH. Mahfudz Ridwan, Lc
(Pengasuh
Pondok Pesantren Mahasiswa Edi Mancoro, Salatiga, Jawa Tengah)
Pesantren
adalah sebuah wacana yang hidup, selagi mau memperbincangkannya-pesantren
senaniasa menarik, segar dan aktual. Akan tetapi perlu dicatat, bahwa menyimak
pesantren adalah laksana masuk ke hutan belantara. Sebab, pesantren mempunyai
wajah yang multi dimensi dan kaya akan khazanah-khazanah yang sulit untuk
dituangkan dalam teks yang bisa dibaca oleh setiap orang-orang. Sampai-sampai
ada suatu guyonan bahwa agen intelejen sekelas CIA yang memiliki reputasi
internasional serta mempunyai sistem kerja yang canggih sekalipun acapkali
sulit menyandang informasi yang ada di pesantren gara-gara setiap kali rapat
tidak ada nominasinya. Walaupun penuh dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, yang menaik adalah pesantren senantiasa percaya diri dalam
menghadapi tantangan di luar dirinya.
Pesantren
memang unik dan ekslusif. Dalam banyak perspektif, pesantren selalu menampakkan
wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun, tidak dapat
dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan
zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan
hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai
komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Pola
kepemimpinan yang masih tetap mengandalkan kharisma kiyai serta keikhlasan
dalam pengajaran justru diyakini oleh sebagian masyarakat kita sebagai sebuah
metode yang paling efektif dalam menimba ilmu. Inilah yang kemudian oleh
sebagian masyarakat kita dinamai sebagai “barokah” menuntut ilmu. Karena itu,
jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren dapat dibaca dalam
berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga
bisa sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Namun
berbicara mengenai pesantren, kita tidak boleh terjebak dalam romantisme
sejarah egois yang menggiurkan. Kita harus tetap melakukan kritik dan
autokritik terhadap pesantren itu. Sebagai sebuah entitas masyarakat yang
strategis, pesantren justru gagal dalam mengemban misi perubahan bagi
masyarakat yang ada di sekitarnya. Pesantren hadir seolah-olah sebagai sebuah
bangunan tua yang berdiri “diam” dengan aroma kewibawaannya. Jarang kita
temukan pesantren yang menjadi tempat transaksi gagasan dan segala persoalan
yang bisa dikunjungi oleh masyarakat untuk saling bertukar pikiran baik antar
masyarakat dan santri, maupun masyarakat dengan kiyai. Satu-satunya yang kita
temukan bahwa pesantren hari ini hanya ibarat tempat hilir mudiknya santri
untuk mengaji kitab kuning dengan rutinitas melakukan dialog bersama masyarakat
dalam pemecahan problem-problem sosial yang menghimpit mereka. Kenapa bisa
demikian?
Pesantren
Harus Melakukan Pemberdayaan Masyarakat
Salah
satu yang harus dilakukan pesantren untuk menjawab persoalan-pesoalan yang
menghimpit masyarakat, bahwa pesantren harus tampil percaya diri (PD) dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat. Walaupun ketika berbicara mengenai
pemberdayaan masyarakat kita sangat sulit untuk memulai. Namun untuk melakukan
itu semua sebagai upaya penguatan civil society di Indonesia paling tidak ada
beberapa prasyarat yang harus dibutuhkan. Di antaranya seperti yang pernah
digagas pesantren Edi Mancoro; pertama, melakukan liberalisasi pandangan
terhadap Islam sebagai upaya mendukung pluralisme, konstruksi teologi dan
gerakan yang mampu memfasilitasi terwujudnya gagasan sosial yang berwatak
ideologi emansipatorik. Hal ini mengingat bahwa potensi kekuatan Islam kultural
yang bergerak di luar negara sangatlah kuat.
Kiat
ulama pesantren yang menjadi entitas utama di wilayah Islam kultural sejak
dekade terakhir ini sudah menumbuhkan semangat untuk melakukan kontekstualisasi
ajaran agama dengan membuka pikiran dari luar. Tinggal yang belum dilakukan
adalah mendorong ke arah yang lebih praktis dalam pemberdayaan masyarakat
seperti buruh, nelayan, petani, kaum miskin kota, anak jalanan dan lain
sebagainya. Sehingga ekselerasi yang seimbang ini akan memunculkan kekuatan
yang luar biasa dalam melakukan perubahan di masyarakat. Namun, akankah
pesantren mampu memikul amanah itu?
Hanya
kita (kalangan pesantren) yang bisa menjawab..!!
Ref:
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar